Upacara adat “Mantu
Kucing” merupakan upacara adat untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
menurunkan hujan di daerah orang-orang yang mengadakan upacara tersebut. Upacara
ini diadakan bila tiba musim kemarau yang berkepanjangan dan berdampak negative
terhadap warga masyarakat yang masih agraris.
Upacara adat
ini diangkat dari tradisi masyarakat desa Purworejo, Kecamatan Pacitan,
Pacitan. Kejadian masa silam (tidak disebutkan tahun kejadian) dikisahkan
seorang warga desa yang memperoleh “wisik” (petunjuk dari Allah) agar turun
hujan, maka mereka melaksanakan upacara “Mantu Kucing”. Waktu itu para sesepuh
musyawarah untuk melaksanakan upacara “Mantu Kucing”.
Istilah “Mantu
Kucing” tiada ubahnya seperti orang mengadakan upacara pernikaan dua anak
manusia. Hanya khusus dalam keperluan ini yang dinikahkan adalah dua ekor
kucing. Kucing betina berasal dari desa Purworejo, dan kucing jantan diambil
dari desa tetangga yang bersebelahan yakni desa Arjowinangun. Upacara ini
secara tradisional diadakan di tepi sebuah aliran sungai, tempat kucing betina
yang dinikahkan dipelihara. Upacara “Mantu Kucing” ini ditradisikan di Pacitan,
dalam satu kegiatan untuk meminta hujan kepada Tuhan pencipta langit dan bumi. Upacara
ini diadakan bila wilayah tersebut dilanda musim kemarau yang berkepanjangan.
Kisah di atas
menyerupai upacara adat di kerajaan Yunani Purba, yakni sewaktu kemarau panjang
rakyatnya mengadakan upacara menyembelih kambing jantan (tragos) agar dewa Zeus
berkenan menurunkan hujan di daerah yang dilanda kemarau panjang. Sekalipun yang
dinikahkan seekor kucing, masyarakat Pacitan menyebut dua ekor kucing yang
dinikahkan itu dengan istilah “penganten” (Jawa: manten).
Kurang lengkap ini penjelasannya. Belum ada penjelasan bagaimana prosesnya.
BalasHapus