+44(0) 1234 567 890 info@domainname.com

Sabtu, 23 Februari 2013

Pantai Banyu Tibo


Pantai Banyu Tibo (Grojogan) adalah salah satu surga tersembunyi di Pacitan. Sesuai namanya, daya tarik utama pantai banyu tibo adalah air terjun yang tidak terlalu besar yang mengalir dari mata air bawah tanah khas kawasan karst. Pantai ini termasuk pantai landai yang berpasir putih dengan lebar hanya sekitar 30 meteran dan dikelilingi karang yang cukup tinggi sehingga membutuhkan sedikit perjuangan untuk turun ke bibir pantainya.

Pantai banyu tibo terletak di desa widoro kec. Donorejo pacitan yang merupakan daerah perbatasan pacitan – wonogiri dan berjarak kurang lebih 110 km dari kota solo. Untuk mencapai pantai ini, kita bisa menggunakan kendaraan umum maupun pribadi. Menggunakan kendaraan umum dari solo kita naik bus menuju pracimantoro, kemudian menumpang angkutan lokal sampai di pertigaan desa widoro kemudian berjalan kaki sejauh 4 km menuju pantai banyu tibo. Bila menggunakan kendaraan pribadi, kita akan menempuh jalur yang sama, kita bisa membawa motor sampai ke bibir pantai, bila kita membawa mobil, kita bisa parkirkan di desa terakhir sekitar 2 km dari pantai.

Karena belum banyak dikenal orang, pantai banyu tibo masih sangat sepi, biasanya hanya ada para nelayan yang beraktivitas disana. Pantai ini sangat cocok untuk anda yang hobby berwisata dengan ongkos yang terbatas karena kita tidak akan dikenakan biaya retribusi ataupun biaya parkir. Namun imbasnya adalah di pantai ini kita tidak akan menemukan fasilitas apapun kecuali gubug semi permanen milik nelayan yang bisa untuk berteduh. Untungnya, ada air terjun dengan air tawar yang jernih yang bisa digunakan untuk sekedar membasuh muka ataupun untuk mandi jika anda punya cukup nyali. 
 
No comments

Pantai Watu Karung


Perjalanan menuju Pantai Watu Karung (WK) tidaklah mudah. Tersembunyi di salah satu titik sepanjang garis pantai selatan Pacitan (Jawa Timur, Indonesia), Pantai Watu Karung bisa dicapai dengan sepeda motor ataupun mobil sewaan melalui jalan berkelok naik turun perbukitan. Satu jam perjalanan terasa tidak ada hentinya, membuat YogYES bertanya-tanya berapa lama lagi kami akan sampai disana. Bahkan setibanya di desa bernama Watu Karung, tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan pantai. Dan tiba-tiba muncullah sebuah pelabuhan dengan puluhan perahu kecil di depan kami. Tempat ini juga menjadi tempat pelelangan ikan para nelayan sekitar. Namun perjalanan belum berakhir karena surf spots berada di tempat yang berbeda.

Melewati jalan sempit dengan rumah-rumah penduduk di kanan kirinya, mendadak sepeda motor kami terhenti karena tanah tiba-tiba berganti dengan pasir. Di depan sana sebuah pantai cantik dengan ombak berwarna biru kehijauan membentang. Hamparan pasir putihnya terasa sangat lembut. Pulau-pulau karang menghiasi lepas pantainya. Sinar matahari yang bersinar cerah dan langit biru membuat semuanya semakin sempurna. Pantai Watu Karung adalah nirwana.

Di balik keindahannya, Pantai Watu Karung ternyata memiliki ombak yang luar biasa. Dengan tipe reef break dan dasar laut berupa batu karang, pada saat-saat tertentu Pantai Watu Karung bisa menghasilkan barrel yang akan membuat surfer serasa berada di surga. Baik surfer dengan goofy style maupun natural bisa berselancar di sini karena Pantai Watu Karung memiliki ombak kanan dan kiri. Tempat ini juga belum terlalu ramai, sehingga surfer bisa mengejar ombak dengan leluasa. Angin offshore biasanya datang pada bulan April - Oktober, menjadikan bulan-bulan ini adalah saat-saat terbaik untuk bercengkerama dengan barrel Watu Karung. Tahun 2009 lalu, peselancar top Indonesia Rizal Tanjung mengajak Bruce Irons, juara Rip Curl Pro Search 2008 untuk menjajal dan membuktikan betapa ombak Pantai Watu Karung adalah ombak kelas dunia.
sumber: http://pacitan.yogyes.com
 
No comments

Rabu, 20 Februari 2013

Kethek Ogleng




By: Endang Disis Weni, Nike Cahyanti, Evi Rusdiana

Kethek ogleng merupakan salah satu kesenian yang ada di pacitan. Kesenian ini berawal dari sebuah cerita kerajaan jawa, yaitu kerajaan Jenggala dan kerajaan Kediri yang kemudian dituangkan ke dalam seni gerak tari. Secara turun temurun kesenian ini tetap eksis di kalangan masyarakat desa Tokawi kecamatan Nawangan kabupaten Pacitan, terutama ketika sedang diadakan kegiatan syukuran atau pun pada saat hajatan.

Dalam tarian kethek ogleng, diceritakan bahwa puteri Dewi Sekartaji atau putri dari kerajaan Jenggala menjalin hubungan asmara dengan Panji Asmara Bangun pangeran dari kerajaan Kediri. Hubungan mereka sangat harmonis, karena keduanya saling mencinta dan seolah tidak bisa  dipisahkan. Akan tetapi, orang tua mereka tidak sejalan dengan cinta anak-anaknya, ayahanda sang puteri mempunyai kehendak lain, beliau menginginkan puterinya untuk menikah dengan pria pilihannya. Sang puteri menolak, tetapi ayahnya yang seorang raja bersikeras menginginkan agar anaknya menikah denga pria pilihannya, sampai akhirnya sang puteri dipaksa untuk menikah dengan pria tersebut. Karena cintanya pada Panji Asmara Bangun dan untuk menghidar dari paksaan ayahnya, sang puteri pun secara diam-diam meniggalkan kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Malam hari sang puteri berangkat dengan diiringi dayang istana menuju kearah barat. Mengetahui sang kekasih pergi meninggalkan kerajaan, kemudian Panji Asmara Bangun pergi untuk mencari sang puteri. Panji Asmara Bangun singgah dirumah seorang sang pendeta dan diberi wejangan. Pergi kearah barat dan menyamar menjadi Kethek (kera). Begitu pula sang puteri yang menyamar sebagai Endang Roro Tompe (seorang gadis dengan tompel di wajahnya).

Sang Tompe hidup menyendiri di sebuah pondok di hutan. Ia hanya berteman kan binatang liar yang hidup di sekitar hutan. Begitu juga dengan sang Kethek, ia hidup menggelantung dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya di sebuah hutan belantara. Setelah sekian lama, sang Kethek pun bertemu dengan sang Tompe. Awalnya keduanya tidak saling mengenal, akan tetapi lama kelamaan keduanya pun saling mengenal dan menjadi akrab. Karena mereka sudah merasa akrab, akhirnya mereka pun merubah wujudnya seperti semula. Sang Kethek kembali menjadi Panji Asmara Bangun dan sang Tompe pun kembali menjadi Dewi Sekartaji. Ketika mereka sudah kembali ke wujud aslinya, mereka pun kaget ternyata mereka adalah orang yang saling mengenal dan saling mencari bahkan saling mencintai.

Perjumpaan sepasang kekasih tersebut sangat mengharukan. Mereka pun saling melepas rindu, layaknya sepasang kekasih yang lama tidak bertemu. setelah itu mereka kembali ke kerajaan Jenggala untuk meminta restu dan segera menikah.

Yang menarik dari kesenian Kethek ogleng ini, selain penarinya yang cantik juga tariannya yang menggambarkan kehidupan masa silam dan merupakan kisah nyata, sehingga kesenian ini sangat menghibur bagi wisatawan yang berkunjung ke Pacitan, khususnya bagi wisatawan yang senang dengan wisata kebudayaan berupa tari-tarian.

Tari Kethek ogleng biasanya diadakan pada saamasyarakat mengadakan hajatan khususnya masyarakat desa Tokawi kecamatan Nawangan pacitan, tetapi kadang-kadang tarian ini juga dimainkan pada saat diadakannya acara-acara tertentu misalnya untuk mengiringi grup drum band ketika diadakannya karnaval hari jadi kota Pacitan.
No comments

Nasi Tiwul, Makanan Khas Pacitan

Nasi Tiwul dibuat dari tepung ubi kayu melalui proses yang dapat digolongkan tradisional, yaitu tepung ubi, atau disebut gaplek, atau masyarakat Pacitan biasa menyebut dengan gebing, ditambahkan air hingga basah dan dibentuk butiran-butiran yang seragam dengan ukuran sebesar biji kacang hijau, biasanya masyarakat sekitar menggunakan sarana tampah untuk membuat pola bentuk butiran halus, kemudian singkong tadi dikukus selama 20-30 menit.
Topografi daerah Pegunungan Kidul yang berbukit – bukit namun gersang yang tidak terlalu cocok untuk dijadikan lahan pertanian maupun perkebunan, membuat masyarakat disekitar pegunungan, termasuk Pacitan hanya menggunakan lainnya untuk tanaman yang bisa tahan di lahan yang agak gersang tersebut, dansalah satu yang dilakukannya adalah menanam Ketela pohon sebagai alternatif makanan mereka. Dan salah sau hasil olahan ketela pohon adalah nasi tiwul ini. Biasanya saat musim kemarau, berbondong-bondong petani menanam singkong, hal ini dikarenakan tanah mereka sulit untuk mendapatkan air disaat musim tersebut. Daripada tanah dibiarkan tak ada pengelolaan yang jelas, lebih bermanfaat ketika mereka menanaminya dengan ketela. Setelah ketela dipanen, umur sekitar 60 sampai 90 hari, kulit ketela dikupas. setelah itu dikeringkan. Jadilah gaplek atau gebing yang bisa disimpan sampai berbulan bulan. Para petani tidak akan khawatir jika kemarau panjang melanda selama mereka masih meyimpan gaplek dirumahnya.
Dari gaplek atau gebing itulah dijadikan tiwul, makanan khas Pacitan. Memang kandungan kalori tiwul masih tidak bisa menandingi beras, namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Tetapi konon nasi tiwul bisa mencegah penyakit maag,perut keroncongan dan lain sbg-nya. Cita rasa gaplek sangat khas dan unik. (sumber : http://terpaksabikinwebsite.wordpress.com/2009/08/11/nasi-thiwul-yang-mulai-terlupakan/
Walaupun begitu, nasi tiwul khas Pacitan masih bisa kita jumpai di beberapa kedai makan 
1 comment

Peninggalan Purba di Pacitan

 
Budaya Pacitan juga dikenal dengan nama tradisi kapak perimbas. Hasil budaya Pacitan dianggap sebagai alat budaya batu yang paling awal di Indonesia. Corak alat-alat tersebut masih kasar dan sederhana dalam teknik pembuatannya. Pakar yang melakukan penelitian di Pacitan adalah von Koenigswald.

Daerah persebaran kapak perimbas terutama terdapat di tempat-tempat yang banyak mengandung batuan yang cocok digunakan sebagai bahan pembuat alat-alat dari batu. Tempat-tempat penemuan tradisi kapak perimbas antara lain:
1. Punung, Pacitan, Jawa Timur (tempat penemuan yang terpenting)
2. Lahat, Sumatera Selatan
3. Awangbangkal, Kalimantan Selatan
4. Cabbenge, Sulawesi Selatan.

Pacitan merupakan tempat yang paling kaya dan menduduki tempat terpenting dalam penemuan alat-alat jenis paleolitik. Lebih dari dua ribu alat telah ditemukan pada zaman paleolitik. Menurut Movius, ciri-ciri kapak perimbas adalah sebagai berikut:
1. berbentuk besar
2. masif dan kasar buatannya
3. kulit batunya masih melekat pada permukaan alat.

Alat-alat dalam budaya Pacitan teknik pembuatannya menggunakan teknik perbenturan batu-batu dan penggunaan pecahan-pecahannya yang cocok untuk mempersiapkan jenis-jenis alat yang dikehendaki.

Budaya Pacitan diduga merupakan hasil karya dari manusia purba Pithecanthropus dan keturunannya. Pada hakikatnya, berbagai alat budaya Pacitan di atas tergolong dalam dua macam tradisi alat batu, yaitu tradisi batu inti dan tradisi batu serpih.


Contoh alat-alat budaya Pacitan adalah sebagai berikut:
1. Kapak perimbas, yaitu tajaman yang berbentuk konveks (cembung) atau kadang-kadang lurus diperoleh melalui pemangkasan pada salah satu sisi pinggiran batu sehingga kulit batu masih melekat pada sebagian besar permukaan batunya.
2. Kapak penetak (chopper), yaitu sebuah alat yang dipersiapkan dari segumpal batu yang tajamannya dibentuk liku-liku melalui penyerpihan yang dilakukan selang-seling pada kedua sisi pinggiran.
3. Pahat genggam, yaitu sebuah alat yang bentuknya hampir sama dengan bujur sangkar atau persegi empat panjang yang tajamannya disiapkan melalui penyerpihan terjal pada permukaan atas menuju pinggiran batu.
4. Kapak genggam awal, yaitu sebuah alat dari batu yang berbentuk meruncing. Teknik pemangkasan alat ini dilakukan pada satu permukaan batu untuk mendapatkan tajaman.
1 comment